WANSPRESTASI
A. Pengertian Wanprestasi
Wanpresentasi mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan somasi. Somasi sendiri merupakan
terjemahan dari ingerbrekestelling. Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH
Perdata dan Pasal 1243 KUH perdata.
Perkataan
wanprestasi berasal dari bahasa Belanda,
yang artinya prestasi buruk. Menurut kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan,
cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Adapun yang
dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau
kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah
ditentukan dalam perjanjian dan bukan
dalam keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak
memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Wanprestasi
berarti tidak melakukan apa yang menjadi unsur prestasi, yakni:
1. Berbuat
sesuatu;
2. Tidak
berbuat sesuatu; dan
3. Menyerahkan
sesuatu.
Dalam restatement of the law of contacts (Amerika
Serikat), Wanprestasi atau breach of
contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Total breachts artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan;
2. Partial breachts artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk
dilaksanakan.
Seorang debitur
baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh
kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali
oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka
kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang
akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.
B. Wujud Wanprestasi
Jika debitur tidak melaksanakan prestasi-prestasi
tersebut yang merupakan kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat atau katakanlah prestasi yang buruk.
Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang buruk, yaitu para pihak tidak
melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian. Wanpestasi dapat terjadi baik
karena kelalaian maupun kesengajaan. Wanprestasi
seorang debitur yang lalai terhadap janjinya dapat berupa:
1. Tidak
melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
Contoh: A dan B telah sepakat untuk jual-beli motor
dengan merek Snoopy dengan harga Rp
13.000.000,00 yang penyerahannya akan dilaksanakan pada Hari Minggu, Tanggal 25
Oktober 2011 pukul 10.00. Setelah A menunggu lama, ternyata si B tidak datang sama
sekali tanpa alasan yang jelas.
2. Melaksanakan
apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan janjinya.
Contoh: (Konteks contoh nomor 1). Si B datang tepat waktu,
tapi membawa motor Miu bukan merk Snoopy yang telah diperjanjikan
sebelumnya.
3. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya tapi kedaluwarsa.
Contoh: (Konteks contoh nomor 1). Si B datang pada hari itu
membawa motor Snoopy, namun datang
pada jam 14.00.
4. Melakukan suatu
perbuatan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Contoh:(Konteks contoh nomor 1). Si B datang tepat pukul
10.00 pada hari itu dan membawa motor Snoopy,
namun menyertakan si C sebagai pihak ketiga yang sudah jelas-jelas dilarang
dalam kesepakatan kedua belah pihak sebelumnya.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi
dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga
tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi
yang diperjanjikan.
Dalam hal
bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu,
akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak
pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian.
Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan
sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal
1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas
waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk
menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut
dengan somasi.
C. Sebab
dan Akibat Wanprestasi
1. Kesengajaan
atau kelalaian debitur itu sendiri.
Unsur kesengajaan ini, timbul dari
pihak itu sendiri. Jika ditinjau dari wujud-wujud wanprestasi, maka faktornya
adalah:
a. Tidak
memiliki itikad baik, sehingga prestasi itu tidak dilakukan sama sekali;
b. Faktor
keadaan yang bersifat general;
c. Tidak
disiplin sehingga melakukan prestasi tersebut ketika sudah kedaluwarsa;
d. Menyepelekan
perjanjian.
2. Adanya keadaan
memaksa (overmacht).
Biasanya, overmacht terjadi karena
unsur ketidaksengajaan yang sifatnya tidak diduga. Contohnya seperti kecelakaan
dan bencana alam.
1. Perikatan tetap
ada;
2. Debitur harus
membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata);
3.
Beban resiko beralih untuk kerugian
debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada
kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur
tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa;
4.
Jika perikatan lahir dari perjanjian
timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan
kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.
Akibat
wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur,
sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 macam,
yaitu:
1. Debitur
diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH
Perdata);
2. Pembatalan
perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-kerugian (pasal 1267 KUH Perdata);
3. Peralihan
risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUH
Perdata);
4. Pembayaran
biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (pasal 181 ayat 1 HIR).
Dalam hal
debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya
swbagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itiu karena ada unsure
salah padanya, maka seperti telah dikatakan bahwa ada akibat-akibat hokum yang
atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya.
Sebagaimana
yang disebutkan dalam pasal 1236 dan 1243 dalam hal debitur lalai untuk
memenuhi kewajiban perikatannya kreditur berhak untuk menuntut penggantian
kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Selanjutnya pasal 1237
mengatakan, bahwa sejak debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi
tanggungan debitur. Yang ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu berupa
perjanjian timbale balik, maka berdasarkan pasal 1266 sekarang kreditur berhak
untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan
tuntutan ganti rugi.
D.
Penyelesaian
Sengketa Wanprestasi di Pengadilan
Karena
wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan
lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal
itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim. Pengajuan ke
pengadilan tentang wanprestasi dimulai dengan adanya somasi yang dilakukan oleh
seorang jurusita dari pengadilan, yang membuat proses verbal tentang
pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal
saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si berutang.
Kadang-kadang
juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau lupa, karena
seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan
melakukan wanprestasi yang dijanjikan.
Di
pengadilan, kreditur harus sebisa mungkin membuktikan bahwa lawannya (debitur) tersebut telah melakukan
wanprestasi, bukan overmacht. Begitu pula dengan debitur, debitur harus
meyakinkan hakim jika kesalahan bukan terletak padanya dengan pembelaan seperti
berikut:
1. Overmacht;
2. Menyatakan
bahwa kreditur telah melepaskan haknya; dan
3. Kelalaian kreditur.
Jika
debitur tidak terbukti melakukan wanprestasi, maka kreditur tidak bisa menuntut
apa-apa dari debitur tersebut.
Tetapi
jika yang diucapkan kreditur di muka pengadilan terbukti, maka kreditur dapat
menuntut:
1. Menuntut
hak pemenuhan perjanjian;
2.
Menuntut hak pemenuhan perjanjian
berikut dengan ganti rugi sesuai Pasal 1246 KUH Perdata yang menyatakan, “biaya, ganti rugi
dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah
dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan
pasal 1246 KUH Perdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi
harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti
kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut
dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).
a. Ganti
biaya yaitu mengganti pengeluranan yang dikeluarkan kreditur;
b. Ganti
rugi yaitu mengganti barang-barang rusak; dan
c. Ganti
bunga yaitu mengganti keuntungan yang seharusnya didapat.
3. Pembatalan
perjanjian
Dalam hal pembatalan perjanjian,
banyak pendapat yang mengemukakan bahwa pembatalan ini dilakukan oleh hakim
dengan mengeluarkan putusan yang bersifat declaratoir.
Hakim juga mempunyai suatu kekuasaan yang bernama “discretionair”, artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi
debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk
menolak pembatalan perjanjian meski ganti rugi yang diminta harus dituluskan.
4. Pembatalan
perjanjian disertai ganti rugi;
5. Meminta/
menuntut ganti rugi saja.
Dan hak-hak yang dituntut oleh
kreditur dicantumkan pada bagian petitum dalam surat gugatan. Jika debitur
tidak bisa membuktikan bahwa ia tidak melakukan wanprestasi tersebut, maka
biaya perkara seluruhnya dibayar oleh debitur.
E.
Sanksi dan
Ganti Rugi terhadap Wanprestasi
Debitur yang
wanprestasi kepadanya dapat dijatuhkan sanksi, yaitu berupa membayar kerugian
yang dialami kreditur, pembatalan perjanjian, peralihan resiko, dan membayar
biaya perkara bila sampai diperkarakan secara hukum di pengadilan.
Kewajiban membayar
ganti rugi (schade vergoeding) tersebut tidak timbul seketika
terjadi kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai
(ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata.
Yang dimaksud
kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang
sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh
menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan
(interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai
(winstderving).
Bahwa kerugian
yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat
langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi
dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang
mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:
1. Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A
adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan
terjadi jika tidak ada pristiwa A;
2. Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A
adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut
pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari kedua
teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena
pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap
sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling
mendekati keadilan.
Selanjutnya
pasal-pasal 1243-1252 mengatur lebih lanjut mengenai ganti rugi. Prinsip
dasarnya adalah bahwa wanprestasi mewajibkan penggantian kerugian; yang diganti
meliputi ongkos, kerugian dan bunga. Dalam peristiwa-peristiwa tertentu
disamping tuntutan ganti rugi ada kemungkinan tuntutan pembatalan perjanjian,
pelaksanaan hak retensi dan hak reklame.
Karena tuntutan
ganti rugi dalam peristiwa-peristiwa seperti tersebut di atas diakui, bahkan
diatur oleh undang-undang, maka untuk pelaksanaan tuntutan itu, kreditur dapat
minta bantuan untuk pelaksanaan menurut cara-cara yang ditentukan dalam Hukum
acara perdata, yaitu melalui sarana eksekusi yang tersedia dan diatur disana,
atas harta benda milik debitur. Prinsip bahwa debitur bertanggung jawab atas
kewajiban perikatannya dengan seluruh harta bendanmya telah diletakkan dalam
pasal 1131 KUH Perdata.
- Perbedaan Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Banyak yang mengira wanprestasi adalah bagian kesatuan dari
perbuatan melawan hukum, banyak praktisi hukum sekalipun menganggap bahwa
wanprestasi adalah perbuatan melawan hukum (genus spesific). Banyak
kasus contohnya dalam suatu perjanjian, si A meminjam uang kepada si B dengan
dasar surat perjanjian, kemudian A cidera janji atas perjanjian tersebut,
kemudian B dengan banyak bicara akan menuntut A ke pengadilan kemudian membuat
surat gugatan. Hal ini salah besar karena kita harus melihat kaidah kaidah
hukum itu sendiri sebelum membuat surat gugatan karena jika dicampur adukan
akan menimbulkan kekeliruan posita, bisa saja A dapat tuntutan karena perbuatan
melawan hukum tapi bisa saja tidak, kembali lagi kepada asas kebebasan berkontrak.
Namun dalam perbuatan melawan hukum timbulnya hak menuntut ketika melakukan
perbuatan yang dilarang Undang- Undang.
Maka dari itu sebelum menuntut dan membuat surat gugatan
anda perlu mengetahui tentang perbedaan wanprestasi dan perbuatan melawan hokum
1.
Wanprestasi bersumber dari suatu
ikatan, adanya wanprestasi karena sebelumnya ada suatu perjanjian yang
mengharuskan melaksanakan suatu kewajiban, dikatakan wanprestasi saat pihak
yang memiliki kewajiban tersebut tidak dapat menjalankan kewajibannya, sehingga
penyelesaiannya dapat melalui jalur negosiasi, mediasi, atau yang tertera
sebelumnya pada perjanjian. Sedangkan perbuatan melawan hukum ialah bersumber
dari Undang-undang bukan berdasarkan perjanjian hasil persetujuan, perbuatan
melawan hukum berpatokan pada melawan hukum atau tidak sesuai dengan hukum maka
akibatnya hukuman pidana atau pertanggung jawaban perdata.
2.
Pada wanprestasi pihak yang
dirugikan tidak dapat langsung memberikan somasi kepada pihak yang cidera
janji, karena butuh proses untuk melihat perjanjian awal, apakah dia cidera
janji karena lalai atau tidak. sedangkan dalam Perbuatan melawan hukum jika
pihak yang dirugikan sesuai dengan ketentuan Undang undang hukum positif maka
bisa dapat langsung melaporkan kerugian tersebut kepada kepolisian.
3.
Ganti rugi dalam wanprestasi (injury
damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas. Sementara, dalam
perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan pasal 1265
KUHPerdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, tidak perlu
perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan
objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga
diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration
to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de
vorige toestand)
CONTOH KASUS
Di Desa Kecamatan Karangbatu, Kelurahan Makmur Jaya, terjadi
suatu perjanjian antara dua kepala keluarga berkenaan dengan perjanjian tempat
tinggal antara keduanya (25/05/2013). Sebut saja pihak pertama yaitu Bapak
Suherman beserta istri dan kedua anaknya sebagai pihak yang membutuhkan tempat
tinggal sementara karena keluarga ini sedang mengalami masalah ekonomi sehingga
hilang kepemilikan tempat tinggal sebelumnya. Bapak Suherman memiliki teman
akrab bernama Bapak Jali yang berperan sebagai pihak kedua dalam kejadian ini.
Bapak Jali bersedia membantu keluarga Bapak Suherman dengan beberapa ketentuan
yang harus dipenuhi oleh pak Suherman dan keluarganya.
Bahwa keluarga Pak Suherman bisa menempati salah satu dari
rumah yang dimiliki oleh pak Jali, tetapi Pak Suherman harus mampu membayar
uang sewa rumah tersebut sebesar Rp.500.000/bulan tepat setiap tanggal 25.
Apabila terjadi tunggakan/penundaan pembayaran sewa rumah tersebut berdasarkan
waktu yang telah ditetapkan, maka Bapak Jali berhak mengusir keluarga Pak
Suherman dari rumahnya.
Hingga pada bulan ketiga Bapak Suherman menempati rumah
tersebut, ia dan keluarganya belum juga mampu membayar sewa rumah sesuai kesepakatan
dengan pak Jali. Pak Jali pun menderita kerugian dengan kejadian ini. Sehingga
beliau dengan terpaksa harus mengusir keluarga pak Suherman setelah memberikan
beberapa dispensasi sebagai seorang teman seperti memaklumi penundaan
pembayaran selama 3 bulan lamanya dan tidak menuntut ganti rugi bayaran selama
3 bulan tersebut.
Analisa:
·
Jenis perbuatan : Wanprestasi/Cidera
Janji
·
Subyek hukum : Bapak Suherman dan
Bapak Jali
·
Peristiwa hukum adalah Segala
kejadian kemasyarakatan yang akibatnya diatur oleh hukum.
Perjanjian sewa-menyewa diatur di dalam babVII Buku III KUH
Perdata yang berjudul “Tentang Sewa-Menyewa” yang meliputi pasal 1548 sampai
dengan pasal 1600 KUH Perdata. Definisi perjanjian sewa-menyewa menurut Pasal
1548 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “ Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu
perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan
kepada pihak yang lainya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu
dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan telah
disanggupi pembayaranya.”
Alasan :
Menurut J Satrio: “Suatu keadaan di mana debitur tidak
memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu
dapat dipersalahkan kepadanya”.
Bentuk-bentuk
Wanprestasi :
1. Tidak
melaksanakan prestasi sama sekali;
2. Melaksanakan
tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
3. Melaksanakan
tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan
4. Debitur
melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Dalam kejadian diatas termasuk bentuk wanprestasi yang
pertama, dimana bapak Suherman tidak melaksanakan janji yang telah disepakati
sama sekali. Ia lalai untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pihak yang
menyewa rumah.
CONTOH KASUS PERDATA
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Almarhum nyai HJ munah mahripah mempunyai sebidang
tanah di kawasan industri candi kecamatan semarang barat atas tanah seluas 25.000 m²,dengan batas-batas
sebagai berikut:
Utara : Tanah
milik Benjo
Selatan : Jalan Raya Industri Candi
Barat : Tanah milik A Ching
Timur : Pabrik Semen 2 Roda
Selatan : Jalan Raya Industri Candi
Barat : Tanah milik A Ching
Timur : Pabrik Semen 2 Roda
Tanah
tersebut di wariskan kepada Deden Peot, umur 40 tahun, agama Islam, tempat
tinggal di Desa Bringin RT 8 RW 2 Kelurahan Tambak Aji Kecamatan Ngaliyan
Semarang, pada tanggal 9 september 1999 dengan nomor wasiat 16/APW/1999/PA.SR
tanggal 9-9-1999.
Pada
semasa hidupnya, tanggal 11 januari 1955 Nyai Hj. Munah Mahripah melimpahkan
wewenang atas tanah Nyai Hj. Maunah Mahripah yang seluas 20.000 m2 untuk
digarap oleh H. Muslih Rahmat berdasarkan Surat Kuasa untuk mengusahakan
pertanian di atas tanah Nyai Hj. Maunah Mahripah dengan padi serta palawija dan
hasilnya dijual ke Pasar Jrakah, dengan menyetorkan hasil keuntungan bersih
secara bagi hasil 80% untuk Hj. Maunah Mahripah dan 20% untuk H. Muslih Rahmat.
Sedangkan sisanya, yakni 5.000 m2 akan dibangun rumah.
Pada tanggal 4 Juli 1980, Nyai Hj. Maunah Mahripah
meminjam uang sebesar Rp 6.000.000,00 dengan bunga 2,5 % tiap bulan berdasarkan
Akta Perjanjian Hutang No. 500/PH/VII/1980 untuk membangun sebuah rumah diatas
tanah Kawasan Industri Candi kepada Udin Prasetyo Betoro Kolo, umur 45 tahun,
agama Kristen, tempat tinggal di Ringin wok RT 1 / RW 1 Kelurahan Purwoyoso
Kecamatan Ngaliyan Semarang.
Nyai
Hj. Maunah Mahripah menjaminkan tanahnya dan menyerahkan salinan Akta tanah
kepada Udin Prasetyo Betoro Kolo, sebagai jaminan atas Perjanjian Pinjaman
berdasarkan Akta Penjaminan Pelunasan Pembayaran No. 100/JP/VII/1980 tertanggal
4 juli 1980.
pada
tanggal 25 Desember 1980 Nyai Hj. Maunah mahripah telah melunasi hutangnya
berserta bunga 2,5 % sebulan kepada Udin Prasetyo Betoro Kolo di hadapan
Izzuddin, S.N., Notaris di Semarang dibawah Akta Pelunasan Hutang No.123/L-80.
Sekitar
akhir tahun 1981, tanpa sepengetahuan, tanpa hak dan tanpa seizin Nyai Hj.
Maunah mahripah,PT.Praharja Setia Selalu Kawasan Industri Candi dengan
persetujuan Udin Prasetyo Betoro Kolo telah mengajukan permohonan pendaftaran
Hak Guna Bangunan atas tanah Nyai Hj. Maunah mahripah secara melawan hukum,
dengan menyertakan Salinan Akta tanah. Dengan dalih bahwa hutangnya belum
dilunasi.
Komentar
Posting Komentar